Kekejaman Israel terhadap bangsa Palestina memang sudah diluar
batas-batas peri kemanusiaan. Dua bangsa ini — Palestina dan Israel —
tidak pernah bisa hidup tenang. Bangsa Pelestina menuntut tanah mereka
yang dirampas oleh Israel, sedangkan Israel berdalih bahwa tanah di
Palestina itu adalah tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada mereka
seperti yang tertulis di dalam kitab Taurat.
Kemarin
Israel kembali memperlihatkan kebrutalannya dengan membunuh para
relawan kemanusiaan di kapal Mavi Marmara. Kapal ini membawa berton-ton
bantuan makanan, pakaian, dan obat-obatan bagi warga Gaza yang menderita
akibat blokade Israel. Peristiwa tragis yang terjadi kemarin membuka
mata dunia kembali tentang penderitaan warga di jalur Gaza, Palestina.
Palestina saat ini terbagi menjadi dua wilayah yang terpisah, satu Tepi Barat (West Bank) dan satunya lagi Jalur Gaza (Gaza Strip),
keduanya dipisahkan oleh wilayah Israel. Di kawasan Tepi Barat inilah
terletak kota Yerussalem — kota suci tiga agama — dengan Masjidil Aqsa
nya yang bersejarah. Sedangkan Jalur Gaza adalah kawasan yang miskin
sumberdaya alam dan sejarah.
Jalur Gaza ini sebenarnya kecil saja, tidak lebih besar dari Jakarta.
Panjangnya hanya 41 km dan lebarnya hanya 6 sampai 10 km. Namun,
biarpun kecil, warganya terkenal lebih tertib dan lebih taat beragama.
Ini berbeda dengan kawasan Tepi Barat yang warganya lebih liberal.
Perbedaan gaya hidup ini karena di kedua wilayah itu memerintah dua
partai berbeda. Di Tepi Barat memerintah faksi Fatah yang terkesan lebih
lunak dalam berdamai dengan Israel, sedangkan di kawasan Jalur Gaza
memerintah faksi Hamas yang lebih agamis dan tidak mau tunduk kepada
Israel.
Sudah tiga tahun jalur Gaza diblokade oleh Israel, baik dari darat,
laut maupun udara. Warga Gaza tidak bisa pergi kemana-mana, mereka
terkurung di wilayah yang sempit itu. Mau lewat laut Mediterania, sudah
menunggu kapal-kapal Isrel yang siap menghadang dan kalau perlu menembak
mati orang Palestina. Mau lewat darat harus menyeberang daratan Israel
atau pintu perbatasan dengan Mesir. Mesir juga tidak membuka pintunya
bagi warga Gaza. Otomatis Gaza bagaikan penjara raksasa. Penduduk Gaza
benar-benar terkurung di dalam penjara itu. Israel berharap dengan
blokade itu ekonomi di Gaza lumpuh dan akhirnya Gaza bertekuk lutut
kepada Israel.
Tetapi, apa yang terjadi? Kenyataanya Gaza tidak benar-benar lumpuh
sama sekali. Meskipun infrastruktur di Gaza sudah dihancurleburkan oleh
serangan Israel pada tahun 2009 yang lalu, Gaza tetap saja eksis.
Kehidupan masih bisa berderak meskipun tetap terasa sulit. Blokade
membuat warganya menjadi kreatif. Mereka menggali terowongan yang dalam
dan panjang di bawah perbatasan Gaza dan Mesir. Lewat terowongan itulah
perdagangan gelap berlangsung antara warga Mesir dan warga Gaza.
Meskipun Pemerintah Mesir tidak mengakui Hamas dan terikat perjanjian
dengan Isrel dan Amerika Serikat untuk ikut memblokade Gaza, namun warga
Mesir berbeda dengan pemerintahannya. Orang Mesir tetap
setali-sepersukuan dengan bangsa Palestina. Buktinya, mereka tetap
menjalin hubungan perdagangan dan mengirim bantuan secara ilegal kepada
sudara-saudaranya di Gaza.
Israel tampaknya lupa, bahwa secara psikologis jika orang ditekan
dari mana-mana, maka ia semakin bertahan dan semakin militan. Bukan
semakin lemah nyalinya, tetapi semakin kuat saja. Kenapa begitu? Karena,
bagi warga Gaza hidup dan mati itu tidak ada bedanya. Apalah artinya
hidup jika kemerdekaan hidup itu dirampas, namun mati begitu saja juga
tidak ada gunanya. Oleh karena itu, mati terhormat adalah mempertahankan
hidup dengan tidak mau tunduk kepada Israel. Kalaupun mati di tangan
Israel demi mempertahankan hidup, mereka memandangnya sebagai mati
syahid.
Hidup dalam penjara memang tidak enak. Bila anda dipenjara selama
bertahun-tahun dan pasokan makanan terhenti, apa yang terjadi? Anda
pelan-pelan akan mati kelaparan. Begitu juga Gaza, meskipun mereka masih
tetap bertahan hingga saat ini, namun jika blokade itu terus menerus
selama bertahun-tahun, pada suatu hari nanti pertahanan mereka akan
runtuh juga juga. Krisis kemanusiaan yang dahsyat telah menanti.
Obat-obatan yang dibutuhkan oleh warga yang sakit tidak bisa masuk.
Ribuan orang mungkin akan sekarat menunggu ajal.
Maka, itulah yang menggerakan aktivis kemanusiaan dari seluruh dunia
datang membawa bantuan makanan dan obat-obatan bagi warga Gaza.
Persoalan di Gaza bukanlah persoalan agama, tetapi persoalan kemanusiaan
dan hidup yang mendasar. Aktivis yang datang berasal dari berbagai
kalangan bangsa dan agama, mulai dari kaum agamawan (pastor, ulama),
politisi, pemenang hadiah nobel, dan relawan berbagai unsur lainnya.
Mereka datang untuk menembus penjara yang dibuat oleh Israel. Tetapi
sia-sia, belum lagi mereka sampai ke sana, Israel membunuh sebagian
aktivis itu.
Mau berkata apa lagi kita melihat kekejian yang dilakukan oleh Israel
itu. Sudah kering mulut untuk berteriak, sudah bengkak mata karena
menangis, tetapi tidak ada tanda-tanda penjara itu akan terbuka. Kasihan
warga Gaza. Israel telah memenjarakannya dan dunia tidak bisa berbuat
apa-apa. Warga dunia hanya bisa menonton penghuni penjara itu berlari ke
sana kemari, bagaikan para kelinci yang berlarian di dalam kerangkeng,
sementara harimau dan singa siap menanti di luar kerangkeng itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika berkenan silahkan komen nya